Buat Teman-teman khususnya IPA
1 nih! Jangan di jiplak sama persis tp paling tidak ada perubahannya sedikit J ok! Trimakasih...
(Ahmad Rosyid Aridho)
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan atas kehadirat
Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan tema “Hukum Islam Yang Disepakati Dan Yang Tidak
Disepakati”.
Maksud
dan tujuan dari penulisan makalah ini tidak lain untuk memenuhi salah satu dari
sekian kewajiban Tugas FIQIH serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab
penulis pada tugas yang diberikan.
Pada
kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Drs. H. Amrulloh, MA selaku Guru serta semua pihak yang
telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Demikian
pengantar yang dapat kami sampaikan dimana kami pun sadar bawasannya kami
hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan,
sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wa’jala hingga dalam penulisan
dan penyusunnnya masih jauh dari kata sempurnaAkhirnya kami hanya bisa
berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini
adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi kami,
pembaca, dan bagi seluruh siswa-siswi Sekolah MAN SABDODADI Bantul Yogyakarta. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Bantul, 20 Juli 2013
Kami
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.. i
Daftar Isi ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang. 1
B.
Rumusan Masalah. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Definisi Dalil 2
B.
Dalil Hukum yang Disepakati 3
a. Al-Qur’an. 3
b. As-Sunnah. 5
c. Ijma’ 7
d. Qiyas. 8
C.
Dalil Hukum yang Tidak Disepakati 9
a. Isthisan. 9
b. Isthisab. 10
c. Maslahah Mursalah
(kemaslahatan umum) 12
d. ‘Urf. 13
BAB III 15PENUTUP
A.
Kesimpulan. 15
B.
Saran. 15
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang
berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil
keputusan suatu hukum.
Dalil
– dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang sepakati dan ada
juga yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada
juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak
menyepakati adanya dalil hukum qiyas.
Sedangkan
dalil hukum yang tidak disepakati adalah Isthisan, isthisab, Maslahah Mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan syaru man
Qoblama. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil
tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah
terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat
mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.
Tentunya
kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati
dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita
dalam mengambil sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari
telah mengacu kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada
keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu hukum.
1. B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam judul hukum yang disepakati dan tidak disepakati dapat
pemakalah rumusan
1. Apa definisi dalil itu?
2. Apa saja dalil hukum yang disepakati?
3. Apa saja dalil hukum yang tidak disepakati?
BAB II
PEMBAHASAN
1. A. Definisi Dalil
Ilmu
Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan suatu
hukum berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan
demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni
dalil dan hukum. Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa
makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku,
bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu,
baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan
secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil
yaitu : sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum
syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada
pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau Zhanni (kuat).
Selain
itu beberapa definisi tentang dalil menurut para Ushul Fiqh mengemukakan, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat
mengantarkan (orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek
informatif yang diinginkannya.
2. Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan
“sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti
menyangkut objek informatif”.
3. Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu
yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang
bersifat praktis.
Dalam
hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah sebagai dalil
dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai
dalil dan ada yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak
yang selebihnya.
Dari
sini dapat penulis simpulkan bahwa dalil adalah merupakan sesuatu yang
daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara
mutlak, baik dengan jalan qathi atau dengan jalanzhanni mengenai pandangan kebenaran.
1. B. Dalil Hukum yang Disepakati
Berdasarkan
penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat
sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang
disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber
yang terakhir (Ijma dan Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap
musykil terjadinya Ijma, terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad
Hudhari Bek. Para ulama dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya
adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan
Akhbari tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati.
Untuk
lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
1. a. Al-Qur’an
1. 1. Definisi
Dari
segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar
(infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz
ini memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu
dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara
istilah al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang
ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang
mutawatir, tanpa ada keraguan.
Al-Qur’an ( القرآن ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup
wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan MalaikatJibril.
Jadi
dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang
diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw,
isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu
disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta
membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.
1. 2. Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an
berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia
agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala
urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut
memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup
manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh
Allah.
Al-Qur‘an
juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan berbagai segi
kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan
pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan
Maha Terpuji.
Pada
setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan
dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah
manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu
memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama
yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah
abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi
segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan
bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah
undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau
pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide.
Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.
1. 3. Hukum-hukum dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum
yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:Pertama, hukum-hukumi’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan
kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
Kedua,
hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban
mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan
dirinya dan sifat-sifat yang tercela.
Ketiga,
hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan,
perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama
manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang
hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
1) Hukum ibadat.
Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini diciptakan
dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2) Hukum-hukum
mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi
kebendaan, jinayat
dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum
mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan
manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota
masyarakat.Hukum-hukum selain ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum
mu’amalat.
Hasil
penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan
hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan
ibadat dan ahwalus-syakhshiyahsudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi
(ibadat) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk
menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah
lantaran perubahan suasana dan lingkungan.
Adapun
selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata, pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah),
internasional (dauliyah) dan
ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah
wa al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan
ketentuan yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali
yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat
dihajatkan.
Dalam
hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang
asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan
perundang-undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang
dihajatkan pada saat itu, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
(dalil-dalil) dan jiwa syari’at.
1. b. As-Sunnah
1. 1. Definisi As-Sunnah
As-Sunnah
atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik
berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju)
Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah
Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1) Sunnah qauliyyah
ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya
sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula
memudharatkan. (HR. Malik).
Hadis
di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat
Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2) Sunnah fi’liyyah
ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau melaksanakan
shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan
rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
3) Sunnah taqririyah
ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun
tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan
disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau
perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau
perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
1. 2. Kehujjahan As-Sunnah
Kedudukan
As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para
sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah
Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah
(alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub
kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga
yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan
bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang
disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum
wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum
yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang
diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32,
An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
1. 3. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat
dilihat dari dua aspek, yakni hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah
sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan
struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi
Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah
Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
1. 4. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi
kandungan hukum mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.
1) As-Sunnah
berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum
dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
2) As-Sunnah
sebagai bayan (penjelas)
3) takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang
masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas
petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam
As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan
As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat
(mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
1. c. Ijma’
1.
1. Definisi
Menurut
ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat
Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara
tentang suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan
kepada seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka
kemudian bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut.
Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.
1. 2. Kehujjahan Ijma’
Apabila
keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya
peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa
memandang latar belakang, 3. Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, 4.
Realisasi dari kesepakatan mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada
suatu masa diantara masa-masa sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua
mujtahid Umat Islam menurut perbedaan latar belakang para mujtahid,
kemudian mereka dihadapkan kepada suatu kejadian untuk
diketahui hukum syara’nya dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat
, baik secara kolektif ataupun secara individual, kemudia mereka sepakat
atas suatu hukum mengenai suatu peristiwa maka hukum yang disepakati ini
adalah suatu undang-undang syar’I yang wajib diikuti dan tidak
boleh ditentang.
Jadi
kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, Allah
memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya,
Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amrisebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat
mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
1. 3. Macam-Macam Ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada
dua bagian yaitu :
1) Ijma Sharih yaitu
kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian dengan
menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara
memberi fatwa atau memberi keputusan.
2) Ijma Syukuty yaitu
sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas
terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid
lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau
perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah
hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.
1) Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya
telah dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang
bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum syara mengenai suatu
kejadian setelah adanya ijma sharih.
2) Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya
diduga berdasarkan dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih
memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat
seluruh mujtahid.
1. d. Qiyas
2. Pengertian
Al-Qiyas
menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut
ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya
kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran
adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya,
masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan
dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat
memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan
hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.
1. Rukun-Rukun Al-Qiyas
Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut
1) Al-Ashl ialah sesuatu
yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut Maqis ‘Alaih
(yang dipakai sebagai ukuran).
2) Al-Far’u ialah
sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya disamakan kepada
al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur)
3) Hukmul Ashl ialah
hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai sebagai hukum
asal bagi al-Far’u.
4) Al-Illat ialah
keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u itu
disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.
1. C. Dalil Hukum yang Tidak Disepakati
Selain
dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi
ada juga dalil hukum yangmana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas
penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan
dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain
mengingkarinya. Oleh karena itu ada dalil yang depakati dan dalil yang tidak
disepakati, dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab,
Al-Urf, Madzhab Shahabi, danSyaru Man Qablana.
1. Isthisan
Menurut
bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasar dalil syara”.
1. 1. Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang
menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan
mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan
hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti
ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya,
sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam
buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan
istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu
arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil
yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun
kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat
Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut
Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i,
istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang
lebih enak.
Maka
seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan
pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi.
Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang
menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara” dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara” yang umum.
1. 2. Kehujjahan Isthisan
Menurut
Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada
hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri,
karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari
kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang
mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang
menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang
kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut
pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi
Isthisan”.
1. Isthisab
Secara
terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan
dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama
Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan
bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa
selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak
adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Banyak
ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir
bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an,
al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang
ulama yang mengatakan: “Ia
(istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya
tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian
al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di
sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan
hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak
berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap
berlaku”.
1. Jenis-jenis Istishhab
Para
ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang
terpenting diantaranya, yaitu:
1) Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak
ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan
haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di
kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah
mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang
tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,
atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas
2) Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban
dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia
untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
3) Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat
berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.
1. Kehujjahan Isthisab
Isthisab
merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka
para ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan
akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap
sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil
yang merubahnya”.
1. Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum)
Mashalihul
mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri
secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya
manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti
pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” .
Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang
diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun
mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau
tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi
acuan dalam menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat
mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda
dengan Imam Ghazali.
1) Rasional. Ketika
mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa menerimanya.
Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk kepada mashlahat
mursalah.
2) Sinergi dengan maqhasid syari’ah
3) Menjaga prinsip
dasar (dharuri) untuk
menanggalkan kesulitan (raf’ul
haraj).
1. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Masih
menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam
berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah Syar’iyyah yang
dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada
hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan
kepadanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum
tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada
bukti pengakuan dari syara’”.
Akan
tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah
mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti
syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun
pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang
jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat
dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan
hukum Islam dan akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta
lingkungan.
Adapun
terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama
menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun
dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama
Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil
disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits
atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu
merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi
suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah
sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya.
1. ‘Urf
2. Pengertian
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian
dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan
diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
1. Pembagian urf
1) Ditinjau dari
bentuknya ada dua macam
i.
Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm (
daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
ii.
Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab
jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2) Ditinjau dari segi
nilainya, ada dua macam :
i.
Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak
bertentangan dengan nash hukum syara’
ii.
Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan
hukum syara
3) Ditinjau dari luasnya
berlakunya, ada dua macam :
i.
Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
ii.
Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat
saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
4) Syarat-syarat urf
dapat diterima oleh hukum islam
i.
Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as
Sunnah.
ii.
Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak
mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
iii.
Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
1. Kehujjahan ’urf
Para
ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama
Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk
madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan
sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam
Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek
yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang
fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas
maupun ketentuan umum nas
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam
penyajian makalah ini makadapat kami simpulkan bahwa hukum islam itu ada yang
disepakati dan ada juga yang tidak disepakati. Hukum islam yang disepakati itu
ada empat yaitu : Al-qur’an, Sunnah, Ijtima’ dan Qias. Sedangkan hukum islam
yang tidak disepakati yaitu : Ihtishab, Ihtisan, masalul mursal, U’ruf. Inilah
hukum-hukum Islam yag ada baik yang disepakati maupun tidak menurut ilmu
ushul fiqh
1. Saran
Untuk
mengetahui hukum-hukum Islam yang tepat hendaklah kita benar-benar mengetahui
apa yang menjadi landasan hukum itu saran pemakalah setiap perlakuan hendaklah
memiliki dasar yang kuat agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari.
Daftar Pustaka
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya
bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999)
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya
bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999),
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999)
Departemen Agama RI. 1971. Al-Qur’an dan terjemahnya:
Jakarta
Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi :
Sinar Grafika.
Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta :
PT.Raja Grafindo Persada..